KIMKARYAMAKMUR.COM, Aeng Panas - KH. Ma'mon Amar, S.Ag. menyampaikan sambutan atas nama panitia dan atas nama Kepala Desa Aeng Panas pada Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. dan Haul Agung Ahmad, Agung Mahmud Aeng Panas, Ahad (07/11/2021) di Pesarean Agung Mahmud.
Beliau sampaikan sepatutnya kita bersyukur atas anugerah Waliyullah Agung Mahmud disemayamkan di bumi Aeng Panas. Sampainya Agung Mahmud ke Aeng Panas tidak datang serta merta, penuh cerita dramatis yang monumental.
Ceritanya, Agung Mahmud hendak mencari guru ke tanah Jawa. Begitu Agung Mahmud naik perahu di pelabuhan Aeng Panas, tak ada sebabnya tiba-tiba perahunya kandas, tak mampu berjalan seperti membawa beban yang sangat berat. Dari saking kesalnya, Agung Mahmud akhirnya turun ke permukaan air pelabuhan, tirakat semalaman.
Cerita kandasnya perahu pelayaran tersebut diketahui oleh Agung Ahmad di pesanggrahan. Agung Ahmad lalu menyuruh santrinya menjumpai Mahmud muda yang hendak menyeberang selat Madura ini. Mahmud muda diminta menjumpai Agung Ahmad di kediamannya.
Saat sampai di depan Agung Ahmad, Mahmud muda ditanya,
"Untuk apa engkau hendak berlayar menembus ombak, jauh ke negeri seberang mengarungi lautan?" tanya Agung Ahmad.
"Saya ingin berguru kiyai," jawab Mahmud muda.
"Kalau hanya ingin mencari guru, tak usah ke seberang lautan. Gurumu ada disini," kata Agung Ahmad.
Lama berada bersama Agung Ahmad, akhirnya Agung Mahmud yang alim diambil menantu dan mengajarkan ilmu keislaman di Aeng Panas dan sekitarnya.
"Cerita ini, bukan saya buat sendiri. Cerita ini dari Kiyai Muhammad (almarhum) Ponpes Karai Ganding Sumenep. Allahummaghfirlahu," ucapnya meyakinkan hadirin.
Dari sisi darah keturunan, warga Aeng Panas dan Desa Prenduan, Kata H. Ma'mon, adalah keturunan orang China, Arab pendatang, dan berdarah Pribumi. Mengingat Aeng Panas memiliki pelabuhan tempat persinggungan para saudagar dari tanah seberang.
"Makanya warganya susah diatur. Meski susah diatur dan hidup di Pesisir yang cenderung berkulit gelap, tapi orang Aeng Panas-Prenduan justru cantik-cantik, karena hasil darah campuran China dan Arab tadi," candanya membaca tipologi warga Aeng Panas.
Membaca masa hidupnya Agung Ahmad dan Agung Mahmud, lulusan IAIN Pamekasan ini mengatakan bahwa beliau telah mendatangkan ahli sejarah Keraton Sumenep untuk menghitung prediksi masa hidupnya Agung Ahmad dan Agung Mahmud.
"Agung Ahmad itu meninggal 1244. Diyakini hidup pada masa Sulthan Abdurrahman Raja Sumenep," tambahnya.
Berkaitan tanah yang ditempati Agung Mahmud, beliau mengaku mendengar cerita sharih dari (almarhum) K. Asnawi bahwa tanah Blok Kebun (tempat seputar Maqbarah Agung Mahmud) adalah kepunyaan Agung Mahmud. Luasnya dalam catatan tanah desa sekitar 2 hektar. Tanah itu diberikan oleh Raja Sumenep kala itu kepada Agung Mahmud. Tapi Agung Mahmud tidak mau menempatinya, tanah tersebut oleh Agung Mahmud diberikan kepada warga masyarakat sekitar yang tinggal di sekitaran Blok Kebun Pesisir Aeng Panas.
"Wajar kalau warga sekitar tempat ini membiayai Haul Agung Mahmud dan Agung Ahmad, karena tanah tempat tinggalnya sekarang asal muasalnya diberikan oleh Agung Mahmud," jelasnya mengingatkan.
Selain Maqbarah Agung Mahmud, mantan aktifis PMII ini bercerita, juga ada Maqbarah lain yaitu Agung Rabiat, yang posisi maqbarahnya di pojok barat maqbarah.
Agung Rabiat ini ada yang mengatakan orang lain tapi diambil anak angkat oleh Agung Ahmad. Tapi ada juga yang mengatakan bahwa Agung Rabiat memang anaknya Agung Ahmad.
Karomah yang ditampakkan dari Agung Rabiat, pekerjaannya suka memancing. Tempat mancingnya sekarang dijadikan batu dasar untuk tempat imam shalat Masjid Beringin.
"Bekas jejak kaki, dan bekas pinggul duduknya Agung Rabiat saat memancing membekas seperti dipahat. Meski hanya seorang pemancing, namun Agung Rabiat hafal kitab Alfiah," ujarnya meyakinkan hadirin, dan menjelaskan bahwa cerita tersebut diterimanya dari sesepuh Aeng Panas (almarhum) K. Abd. Azis Mukhtar (orang tua dari K. Washil Azis).
Dulu, ada santrinya Kiyai Ponjun datang kesini menyampaikan bahwa Agung Rabiat itu alimnya luar biasa, alim bukan semata didapat sebab mondok, tapi karena pengaruh tirakatnya yang luar biasa.
Maka kesimpulan H. Ma'mon, kalau warga 'Beringin' ingin kerasan tinggal di 'Beringin' harus alim ilmunya tapi juga harus ahli tirakat.
"Ini sudah terbukti pada banyak generasi, tak bisa kerasan tinggal di 'Beringin' kalau bukan seorang alim ilmunya dan ahli tirakatnya," ujarnya.
Beliau juga menyebut bahwa K. Imam Karai adalah keturunan Agung Mahmud hanya dikasih seekor kuda, dua buah sarung dan dua baju, diminta meninggalkan Aeng Panas ke arah Karay Ganding Sumenep untuk mencari lahan dakwah pengabdian baru agar dakwah keislaman berkembang luas ke berbagai daerah.
Dalam sambutannya H. Ma'mon sang mantan Kades Aeng Panas ini menyampaikan terima kasih atas dukungan semua pihak pada kegiatan ini. Kepala Desa Muhammad Romli, sebutnya, banyak membiayai kegiatan ini atas wasiat Kiyai Bahid Karay yang mengharapkan agar acara Haul tahunan Agung Ahmad dan Agung Mahmud tidak terlalu membebani banyak orang. Tapi kalau ada yang mau nyumbang silahkan dalam bentuk makanan yang sudah dimasak.
"Kalau Kepala Desa banyak membiayai ini bukan karena banyak uang, tapi karena patuh pada wasiat guru (almarhum) K. Bahid Karay," ucapnya. (Zbr/Hb).
Beliau sampaikan sepatutnya kita bersyukur atas anugerah Waliyullah Agung Mahmud disemayamkan di bumi Aeng Panas. Sampainya Agung Mahmud ke Aeng Panas tidak datang serta merta, penuh cerita dramatis yang monumental.
Ceritanya, Agung Mahmud hendak mencari guru ke tanah Jawa. Begitu Agung Mahmud naik perahu di pelabuhan Aeng Panas, tak ada sebabnya tiba-tiba perahunya kandas, tak mampu berjalan seperti membawa beban yang sangat berat. Dari saking kesalnya, Agung Mahmud akhirnya turun ke permukaan air pelabuhan, tirakat semalaman.
Cerita kandasnya perahu pelayaran tersebut diketahui oleh Agung Ahmad di pesanggrahan. Agung Ahmad lalu menyuruh santrinya menjumpai Mahmud muda yang hendak menyeberang selat Madura ini. Mahmud muda diminta menjumpai Agung Ahmad di kediamannya.
Saat sampai di depan Agung Ahmad, Mahmud muda ditanya,
"Untuk apa engkau hendak berlayar menembus ombak, jauh ke negeri seberang mengarungi lautan?" tanya Agung Ahmad.
"Saya ingin berguru kiyai," jawab Mahmud muda.
"Kalau hanya ingin mencari guru, tak usah ke seberang lautan. Gurumu ada disini," kata Agung Ahmad.
Lama berada bersama Agung Ahmad, akhirnya Agung Mahmud yang alim diambil menantu dan mengajarkan ilmu keislaman di Aeng Panas dan sekitarnya.
"Cerita ini, bukan saya buat sendiri. Cerita ini dari Kiyai Muhammad (almarhum) Ponpes Karai Ganding Sumenep. Allahummaghfirlahu," ucapnya meyakinkan hadirin.
Dari sisi darah keturunan, warga Aeng Panas dan Desa Prenduan, Kata H. Ma'mon, adalah keturunan orang China, Arab pendatang, dan berdarah Pribumi. Mengingat Aeng Panas memiliki pelabuhan tempat persinggungan para saudagar dari tanah seberang.
"Makanya warganya susah diatur. Meski susah diatur dan hidup di Pesisir yang cenderung berkulit gelap, tapi orang Aeng Panas-Prenduan justru cantik-cantik, karena hasil darah campuran China dan Arab tadi," candanya membaca tipologi warga Aeng Panas.
Membaca masa hidupnya Agung Ahmad dan Agung Mahmud, lulusan IAIN Pamekasan ini mengatakan bahwa beliau telah mendatangkan ahli sejarah Keraton Sumenep untuk menghitung prediksi masa hidupnya Agung Ahmad dan Agung Mahmud.
"Agung Ahmad itu meninggal 1244. Diyakini hidup pada masa Sulthan Abdurrahman Raja Sumenep," tambahnya.
Berkaitan tanah yang ditempati Agung Mahmud, beliau mengaku mendengar cerita sharih dari (almarhum) K. Asnawi bahwa tanah Blok Kebun (tempat seputar Maqbarah Agung Mahmud) adalah kepunyaan Agung Mahmud. Luasnya dalam catatan tanah desa sekitar 2 hektar. Tanah itu diberikan oleh Raja Sumenep kala itu kepada Agung Mahmud. Tapi Agung Mahmud tidak mau menempatinya, tanah tersebut oleh Agung Mahmud diberikan kepada warga masyarakat sekitar yang tinggal di sekitaran Blok Kebun Pesisir Aeng Panas.
"Wajar kalau warga sekitar tempat ini membiayai Haul Agung Mahmud dan Agung Ahmad, karena tanah tempat tinggalnya sekarang asal muasalnya diberikan oleh Agung Mahmud," jelasnya mengingatkan.
Selain Maqbarah Agung Mahmud, mantan aktifis PMII ini bercerita, juga ada Maqbarah lain yaitu Agung Rabiat, yang posisi maqbarahnya di pojok barat maqbarah.
Agung Rabiat ini ada yang mengatakan orang lain tapi diambil anak angkat oleh Agung Ahmad. Tapi ada juga yang mengatakan bahwa Agung Rabiat memang anaknya Agung Ahmad.
Karomah yang ditampakkan dari Agung Rabiat, pekerjaannya suka memancing. Tempat mancingnya sekarang dijadikan batu dasar untuk tempat imam shalat Masjid Beringin.
"Bekas jejak kaki, dan bekas pinggul duduknya Agung Rabiat saat memancing membekas seperti dipahat. Meski hanya seorang pemancing, namun Agung Rabiat hafal kitab Alfiah," ujarnya meyakinkan hadirin, dan menjelaskan bahwa cerita tersebut diterimanya dari sesepuh Aeng Panas (almarhum) K. Abd. Azis Mukhtar (orang tua dari K. Washil Azis).
Dulu, ada santrinya Kiyai Ponjun datang kesini menyampaikan bahwa Agung Rabiat itu alimnya luar biasa, alim bukan semata didapat sebab mondok, tapi karena pengaruh tirakatnya yang luar biasa.
Maka kesimpulan H. Ma'mon, kalau warga 'Beringin' ingin kerasan tinggal di 'Beringin' harus alim ilmunya tapi juga harus ahli tirakat.
"Ini sudah terbukti pada banyak generasi, tak bisa kerasan tinggal di 'Beringin' kalau bukan seorang alim ilmunya dan ahli tirakatnya," ujarnya.
Beliau juga menyebut bahwa K. Imam Karai adalah keturunan Agung Mahmud hanya dikasih seekor kuda, dua buah sarung dan dua baju, diminta meninggalkan Aeng Panas ke arah Karay Ganding Sumenep untuk mencari lahan dakwah pengabdian baru agar dakwah keislaman berkembang luas ke berbagai daerah.
Dalam sambutannya H. Ma'mon sang mantan Kades Aeng Panas ini menyampaikan terima kasih atas dukungan semua pihak pada kegiatan ini. Kepala Desa Muhammad Romli, sebutnya, banyak membiayai kegiatan ini atas wasiat Kiyai Bahid Karay yang mengharapkan agar acara Haul tahunan Agung Ahmad dan Agung Mahmud tidak terlalu membebani banyak orang. Tapi kalau ada yang mau nyumbang silahkan dalam bentuk makanan yang sudah dimasak.
"Kalau Kepala Desa banyak membiayai ini bukan karena banyak uang, tapi karena patuh pada wasiat guru (almarhum) K. Bahid Karay," ucapnya. (Zbr/Hb).