KIMKARYAMAKMUR.COM, Pragaan - Kelompok Kerja (Pokja) 1 Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK) Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep kemarin Senin (20/06/2022) mengikuti kegiatan Pendidikan Kekerasan Seksual yang disampaikan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan (DP3AK) Provinsi Jawa Timur melalui SAPA DP3AK Jatim.
Penyajian disampaikan oleh Bapak Edward Dewaruci, SH. MH. Beliau menjelaskan isi Undang Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Menurutnya, setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.
"Kekerasan seksual itu bertentangan dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan serta mengganggu keamanan dan ketenteraman masyarakat," ujarnya.
Dalam kajian konstitusi, yang disebut dengan tindak pidana kekerasan seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur undang undang dan perbuatan seksual lainnya yang diatur dalam undang undang.
"Bentuknya meliputi sembilan jenis, yaitu pelecehan seksual non fisik, seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, ekspoitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik," jelasnya.
Perbuatan seksual nonfisik bisa berupa pernyataan, gerak tubuh, atau aktifitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tujuan merendahkan dan mempermalukan, itu dapat dipidana hingga sembilan bulan penjara atau denda Rp. 10 juta. Adapun yang melakukan seksual fisik dapat dipidana hingga 12 tahun penjara atau denda paling banyak Rp. 300 juta.
Tak hanya itu, lanjutnya, pelaku perkawinan paksa bisa dipidana penjara paling lama 9 tahun dan denda maksimal Rp. 200 juta.
"Perkawinan paksa itu termasuk perkawinan anak, pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya, dan pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku pemerkosaan," jelasnya.
Perbudakan seksual disebutnya setiap orang yang secara melawan hukum menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain dan menjadikannya tidak berdaya dengan maksud mengekploitasinya secara seksual. Ancaman pidananya paling lama 15 tahun atau denda paling banyak 1 milyar.
Yang menarik disampaikan beliau yaitu kekerasan seksual berbasis elektronik, seperti melakukan perekaman dan atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual diluar kehendak atau tanpa persetujuan otang yang menjadi obyek perekaman tersebut.
"Juga membagi atau mentransmisikan informasi atau dokumen elektronik bermuatan seksual diluar kehendak penerima yang ditujukan pada keinginan seksual," tambahnya.
Atau melakukan penguntitan dan atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi obyek dalam informasi atau dokumen elektronik untuk tujuan seksual. Itu dapat dipidana 6 tahun atau denda Rp. 300 juta.
Sementara kekerasan lain yang dimaksud dalam peraturan perundangan adalah pemerkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan atau perbuatan cabul serta eksploitasi seksual terhadap anak, perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan korban, pornografi melibatkan anak yang memuat kekerasan, pemaksaan pelacuran, perdagangan orang, kekerasan seksual dalam rumah tangga, pencucian uang yang asalnya tindak pidana kekerasan seksual, dan tindak pidana lain yang tergolong kekerasan seksual.
"Korban berhak atas penanganan, perlindungan, pemulihan sejak terjadi tindak pidana kekerasan seksual. Juga restitusi atau pembayaran ganti rugi yang dibebankan kepada pelaku.
"Hak korban bisa berupa hak informasi seluruh proses, mendapatkan dokumen hasil penanganan, hak atas layanan hukum, hak penguatan psikologis, hak pelayanan kesehatan, hak layanan fasilitas dengan kebutuhan khusus korban, hak penghapusan konten bermuatan seksual, perlindungan dari ancaman, hak kerahasiaan, perlindungan dari kehilangan pekerjaan, rehabilitasi medis, rehabilitasi mental, pemberdayaan sosial dan lain lain," pungkasnya. (Zbr/Hb).